Translate

Jumat, 19 Oktober 2012

manajemen konflik dalam organisasi




Konflik dalam organisasi, manajemen konflik dalam organisasi, sama halnya dengan politik keorganisasian kerap dipandang secara pejoratif. Walaupun jarang diperbincangkan, politik dan konflik sesungguhnya intheren di setiap organisasi, terlebih dalam organisasi yang berskala besar. Politik dan konflik organisasi memiliki sejumlah dimensi yang mirip, kendati demikian kedua konsep ini sebaiknya dibicarakan secara terpisah.

Jika politik dianggap sebagai tatacara penggunaan pengaruh dan kekuasaan di dalam organisasi, maka konflik adalah situasi yang muncul akibat langkanya sumber daya di dalam organisasi. Di satu sisi terdapat kelangkaan, di sisi lain tuntutan untuk memiliki atau menggunakan sumber daya tersebut tinggi, dan konflik muncul sebagai akibatnya. Semua organisasi punya keterbatasan sumber daya sehingga konflik adalah sesuatu yang inheren (melekat) dalam operasional organisasi sehari-hari.

Konflik memiliki akar, dan dari akar inilah konflik merambat naik. Konflik pun punya sejumlah varian dan aneka fungsi, baik yang bersifat negatif ataupun positif terhadap organisasi. Di atas semua, konflik sebaiknya diakui sebagai eksis untuk dikelola demi mengembangkan organisasi, bukan sebaliknya.
Definisi Konflik Organisasi

Gareth R. Jones mendefinisikan konflik organisasi sebagai “perbenturan yang muncul kala perilaku mencapai tujuan tertentu yang ditunjukan suatu kelompok dirintangi atau digagalkan oleh tujuan kelompok lain.”[1] Karena tujuan, pilihan, dan kepentingan kelompok-kelompok pemangku kepentingan (stake holder) di dalam organisasi berbeda maka konflik adalah suatu yang tidak terelakkan di setiap organisasi.

Kendati konflik kerap dipandang negatif, sama halnya dengan politik, tetapi Jones beranggapan bahwa beberapa jenis konflik justru mampu memberi kontribusi terhadap peningkatan efektivitas organisasi. Alasan Jones bahwa konflik punya kontribusi positif karena ia mengungkap kelemahan suatu organisasi sehingga membuka jalan dalam upaya mengatasinya. Dengan demikian, konflik membimbing pada proses pembelajaran dan perubahan organisasi.[2]

M. Aflazur Rahim mendefinisikan konflik organisasi sebagai “proses interaktif yang termanifestasi dalam hal-hal seperti ketidakcocokan, ketidaksetujuan, atau kejanggalan baik di intra individu maupun inter entitas sosial seperti individu, kelompok, ataupun organisasi.[3] Rahim menyebut konflik sebagai proses interaktif bukan dengan maksud hendak membatasi kemungkinan konflik di dalam diri individu, karena seringkali seseorang mengalami konflik dengan dirinya sendiri.

Kurt T. Dirks and Judi McLean Parks mendefinisikan konflik organisasi sebagai “... interaksi antarentitas yang saling bergantung, yang menganggap adanya pertentangan sasaran, niat, atau nilai, sehingga menganggap entitas lainnya sebagai penganggu potensial atas upaya mereka merealisasikan sasaran ini.”[4] Sehubungan dengan definisi ini, Dirks and Parks menyebutkan tiga konsep konflik yang muncul, yaitu: interaksi, kesalingtergantungan, dan sasaran yang tidak cocok. Mereka juga menggariskan entitas bukan orang, karena konflik kerap melibatkan tidak hanya orang tetapi juga kelompok, tim, divisi, departemen, dan organisasi-organisasi bisnis.

Ricky W. Griffin and Gregory Moorhead mendefinisikan konflik organisasi sebagai “ ... proses yang muncul dari interaksi dua pihak, bahwa mereka bekerja secara berseberangan satu sama lain dengan cara-cara yang berakibat pada perasaan tidak nyaman dan atau permusuhan.”[5] Griffin and Moorheas menekankan bahwa konflik adalah sebuah proses, bukan peristiwa yang berdiri sendiri. Sebagai proses, konflik terus berlangsung dari waktu ke waktu. Keduanya juga menekankan bahwa pihak-pihak yang terlibat harus mengakui bahwa proses perseberangan kepentingan sebagai eksis. Terakhir, situasi ketidaknyamanan dan permusuhan juga harus nyata agar konflik dapat dikatakan ada.

Ian Brooks mendefinisikan konflik organisasi sebagai “ ...menjadi jelas kala sekurangnya satu pihak menganggap bahwa konflik ada dan di mana kepentingan pihak tersebut mengalami penurunan kemungkinan untuk dipenuhi.”[6] Konflik hadir antar individu (kendati Brooks mempersyaratkan satu saja individu mengalaminya agar dapat disebut situasi konflik), kelompok, atau departemen. Konflik pun dapat terjadi di antara mereka yang punya tugas wewenang berbeda bahkan kolega-kolega kerja mereka sendiri.

Kiranya, definisi-definisi konflik organisasi yang telah dipaparkan memiliki sejumlah persamaan. Pertama, adanya tujuan yang berseberangan atau terhalangi. Kedua, adanya pihak-pihak yang menganggap bahwa konflik ada, dan ini bisa individu, kelompok, tim, ataupun bagian-bagian di dalam organisasi terhadap sesamanya. Ketiga, konflik termanifestasi berupa rasa tidak nyaman atau permusuhan. Keempat, konflik dapat disikapi baik secara negatif maupun positif bagi perkembangan organisasi. Kelima, konflik adalah tidak terelakkan selama organisasi terus beroperasi karena terdiri atas entitas-entitas yang punya kepentingan dan tujuan masing-masing.

Model Konflik organisasi

Model berguna untuk menyederhanakan yang interaksi konsep yang rumit. Model didasarkan atas seperangkat konsep yang saling berjalin, atau dianggap saling berjalin, seputar suatu fenomena. Sebab itu, tidak cukup hanya satu model untuk menjelaskan peristiwa, termasuk dalam masalah konflik ini.

Di dalam setiap model, untuk menjelaskan masalah konflik, digunakanlah teori. Teori yang digunakan untuk menjelaskan konflik pun tidak hanya satu melainkan banyak. Teori-teori yang memiliki kesamaan kemudian dikelompokkan ke dalam sebuah model. Model, sebab itu, merupakan pengelompokan sejumlah teori untuk menjelaskan suatu peristiwa.

Louis A. Pondy menawarkan 3 buah model untuk menjelaskan konflik. Model-model tersebut adalah: (1) Model Bargaining; (2) Model Birokratik; dan (3) Model Sistem.[7] Ketiga model ini punya dimensi penjelasan dan teori-teori yang berbeda dalam menjelaskan konflik.

Model Bargaining – Model ini didesain untuk menjelaskan konflik yang muncul akibat persaingan antara kelompok-kelompok kepentingan dalam memperebutkan sumber daya yang langka. Model ini secara khusus menganalisis hubungan pekerja-manajemen, proses penyusunan penganggaran, dan konflik staf-pekerja.

Parameter utama guna mengukur konflik-konflik potensial diantara sejumlah kelompok kepentingan adalah dengan mengidentifikasi perbedaan antara tuntutan pihak yang bersaing dengan sumber daya yang tersedia. Resolusi konflik jenis ini adalah pengurangan tuntutan kelompok atau peningkatan sumber daya yang tersedia. Dalam konteks penyusunan anggaran, model ini menjelaskan bahwa konflik dipicu oleh persaingan antardepartemen dalam memperebutkan dana organisasi.

Model Birokratik – Model ini diterapkan guna menjelaskan konflik atasan-bawahan atau, secara umum, konflik di sepanjang garis vertikal dalam hirarki organisasi. Model ini utamanya bicara seputar masalah yang muncul akibat upaya lembaga untuk mengendalikan perilaku dan reaksi pihak-pihak yang dikendalikan tersebut atas organisasi.

Konflik vertikal biasanya muncul akibat atasan berusaha mengendalikan perilaku bawahan dan bawahan berupaya melawan kendali tersebut. Pola hubungan yang mengandung otoritas ditentukan lewat adanya seperangkat kegiatan bawahan di mana mereka (bawahan) harus mengalah pada legitimasi atasan untuk mengatur. Potensi konflik terjadi tatkala atasan dan bawahan punya harapan berbeda seputar wilayah unik (turf) masing-masing. Bawahan lebih suka menganggap konflik telah terjadi tatkala atasan berupaya menerapkan kendali atas kegiatan yang oleh bawah dianggap berada di luar kewenangan atasan. Di sisi lain, atasan menganggap konflik terjadi tatkala upayanya untuk mengendalikan tersebut mengalami perlawanan dari bawahan.

Atasan cenderung memandang perlawanan bawahan sebagai wujud ketidaksukaan (dislike) mereka atas penerapan kekuasaannya secara pribadi. Dengan demikian, reaksi birokratis atas perlawanan bawahan merupakan substitusi (pengganti) aturan impersonal dengan kendali personal. Bawahan juga memandang upaya atasan mengatur sebagai pengurangan atas otonomi mereka. Ini terutama terjadi di dalam organisasi skala besar yang banyak melakukan delegasi wewenang. Kepentingan antara atasan dan bawahan menjadi sedemikian berbeda sehingga sasaran, kepentingan, atau klop-nya kebutuhan atasan-bawahan menjadi lebih sedikit kemungkinannya.

Model Sistem – Model ini bicara tentang konflik lateral, atau konflik antar pihak yang punya fungsi berbeda. Analisis atas masalah koordinasi dibicarakan secara khusus oleh model ini. Konflik dalam model ini juga dapat terjadi antara orang dengan level hirarki yang sama.

Jika model bargaining bicara tentang masalah persaingan, model birokratik bicara soal masalah kendali, maka model sistemn bicara tentang masalah koordinasi. Misalnya, dua individu yang masing-masingnya bekerja pada posisi sama dalam organisasi dan memainkan peran formal yang juga sama, tatkala turun perintah untuk melakukan suatu pekerjaan, maka masing-masing cenderung menganggap bahwa pekerjaan tersebut merupakan bagian dari tugas dan wewenangnya, dan kala satu orang mengerjakan, orang lainnya menganggap sebagai pelanggaran atas turf -nya.

Proses Konflik organisasi

Louis A. Pondy mengidentifikasi empat jenis konflik, yaitu: (1) Latent Conflict; (2) Perceived Conflict; (3) Felt Conflict; dan (4) Manifest Conflict.[8] Keempat jenis konflik ini berada dalam satu alur proses mulai dari (1) hingga yang terakhir (4).

Latent Conflict – Latent Conflict adalah konflik yang didasarkan atas tiga sumber yaitu : (1) persaingan memperebutkan sumberdaya yang langka; (2) kehendak untuk otonom atau berdiri sendiri, dan (3) perbedaan sasaran-sasaran yang dikendaki oleh masing-masing unit dalam organisasi.

Persaingan membentuk dasar konflik tatkala tuntutan untuk memperoleh sumberdaya melebihi sumberdaya yang tersedia di dalam organisasi. Kebutuhan untuk otonom terjelma menjadi konflik tatkala salah satu pihak berupaya menerapkan kendali atas sejumlah kegiatan yang oleh pihak lain diakui sebagai otonominya. Perbedaan sasaran menjadi sumber konflik tatkala dua pihak harus bekerja sama dalam sejumlah kegiatan, tetapi tidak bisa meraih kesepakatan seputar tindakan apa yang harus diambil.

Dari Latent Conflict inilah kemudian muncul Model Konflik Peran. Model ini memperlakukan organisasi selaku kumpulan seperangkat peran, yang masing-masing peran dipegang oleh seseorang serta orang yang memberikan peran tersebut kepadanya. Konflik muncul tatkala pemegang peran menerima tuntutan peran yang dianggap bertentangan dengan peran yang sebelumnya ia perankan. Model ini juga menganggap pemegang peran selaku penerima pasif ketimbang partisipan aktif dalam hubungan. Model konflik peran menentukan hubungan konseptual, perangkat peran, yang berguna dalam menganalisis 3 bentuk Latent Conflict.

Perceived Conflict – Konflik pun kerap kali terjadi kendati tidak satupun kondisi latent conflict dapat diidentifikasi. Kondisi latent conflict bisa terjadi tanpa satupun peserta konflik merasakan bahwa kondisi laten tersebut telah terjadi. Dalam kasus konflik tetap terjadi tatkala tidak satupun latent conflict ada, dijelaskan melalui Model Semantik Konflik.

Menurut model ini, konflik merupakan hasil dari kesalahpahaman pihak satu dengan pihak lain seputar posisi aktual. Dengan demikian, konflik bisa diselesaikan dengan saling membangun pemahaman dan meningkatkan komunikasi antar pihak. Model Semantik Konflik ini menjadi dasar bagi teknik-teknik manajemen yang luas dipakai dengan tujuan meningkatkan hubungan interpersonal.

Namun, sejumlah latent conflict yang gagal dimasukkan ke dalam level kesadaran tiap-tiap entitas dalam organisasi juga patut diberi penjelasan. Dua mekanisme penting yang menyekat persepsi seputar konflik adalah Mekanisme Supresi dan Mekanisme Fokus Perhatian. Individu cenderung memblok konflik-konflik yang sedikit mengancam kesadarannya. Konflik baru menjadi ancaman besar, dan baru disadari, kala konflik-konflik tersebut bersangkutan dengan nilai inti yang dianut individu secara pribadi.

Mekanisme Supresi bisa diterapkan pada konflik-konflik yang berhubungan dengan pribadi/personal tinimbang nilai-nilai keorganisasian. Mekanisme Fokus Perhatian, sebaliknya, berhubungan dengan perilaku keorganisasian tinimbang nilai-nilai pribadi.

Felt Conflict – Terdapat perbedaan penting antara konflik yang dianggap ada (perceived conflict) dengan konflik yang dirasakan ada (felt conflict). Si A mungkin sadar bahwa B dan A berada dalam kondisi saling tidak setuju yang serius atas satu kebijakan yang sama, dan ini merupakan felt conflict. Namun, ketika felt conflict tersebut tidak membuat Si A tegang atau gelisah, dan kondisi ini tidak punya dampak seputar perasaan Si A terhadap Si B. Kondisi ini merupakan bentuk perceived conflict. Personalisasi konflik adalah mekanisme yang menyebabkan pemikir-pemikir organisasi menekankan pada sifat disfungsi konflik. Ada dua penjelasan umum bagi personalisasi konflik ini.

Pertama, penjelasan bahwa tuntutan atas efisiensi organisasi dan perkembangan individu tidak konsisten dan menciptakan kegelisahan di dalam diri individu. Kegelisahan dihasilkan dari krisis identitas yang berasal dari lingkungan eksternalnya (organisasi). Individu butuh pelepasan kegelisahan ini dalam rangka memelihara kesimbangan internalnya sendiri. Ketiga jenis latent conflict menyediakan alasan pembenar guna menggantikan kegelisahan ini dan si individu mengarahkannya pada sasaran yang cocok. Dari titik ini berkembang Model Ketegangan (Tension Model).

Kedua, pejelasan bahwa konflik menjadi bersifat pribadi kala seluruh kepribadian individu terlibat di dalam hubungan. Rasa permusuhan adalah umum dalam hubungan-hubungan yang intim (akrab) yang mencirikan lembaga-lembaga seperti gereja, perguruan tinggi, dan keluarga. Guna menghilangkan permusuhan yang terakumulasi, lembaga secara keseluruhan membutuhkan insitusi pengaman guna melepaskan ‘hawa permusuhan’ ini seperti kegiatan atletik hingga pemberian sanksi.

Manifest Conflict – Model ini dimaksudkan guna menjelaskan bagi sejumlah perilaku konflik yang telah bersifat nyata. Wujud konflik yang paling nyata adalah penyerangan terbuka, perkelahian, perang mulut, kendati kekerasan fisik dan verbal biasanya diharamkan oleh norma organisasi. Manifest conflict dalam bentuk penyerangan terbukan dan perkelahian umum terjadi dalam kerusuhan penjara, revolusi politik, atau kisruh buruh yang ekstrim, tetapi dalam konteks organisasi umum bentuk-bentuk ini adalah jarang.

Dalam organisasi umum, motivasi untuk berbuat kekerasan tetap ada, tetapi cenderung diekspresikan dalam bentuk yang lebih halus. Suatu kajian berhasil mendokumentasikan upaya terselubung untuk mensabotase atau memblok rencara pihak lawan lewat koalisi-koalisi yang agresif dan defensif. Para montir di perusahaan otomotif menunjukkan taktik-taktik konflik yang digunakan oleh partisipan organisasi level rendahan, seperti apatisme guna melawan para supervisor mereka.

Keempat jenis konflik Pondy sekaligus merupakan rangkaian sebab, eskalasi, dan ujung dari episode suatu konflik. Agar lebih jelas, kami muat saja skema konseptual episode konflik Pondy ini:[9]


Gambar 26 Episode Konflik versi Pondy

Model teoritis Pondy kemudian banyak digunakan penulis-penulis konflik organisasi karena komprehensivitas dan ketelitiannya, dengan memandang konflik secara holistik, tidak parsial.[10]

Penulis lain, misalnya Robert Edelmann, Henry L. Tosi and Neal P. Mero mengidentifikasi sejumlah faktor pemicu konflik. Faktor-faktor tersebut mereka kelompokkan ke dalam 3 kategori utama yaitu: (1) Perbedaan Karakter Individu; (2) Kondisi Situasional; dan (3) Kondisi Keorganisasian.[11]

Perbedaan Karakter Individu – Perbedaan membuat adanya kemungkinan bahwa orang yang satu lebih suka terlibat konflik tinimbang lainnya. Perbedaan nilai, keyakinan, dan sikap individu bisa jadi sumber konflik. Pekerja yang menilai tinggi otonomi dan kebebasan akan bereaksi negatif jika diawasi secara ketat dan dekat. Nilai juga menciptakan ketegangan antara individu dan kelompok di organisasi. Misalnya, pemimpin serikat buruh kiranya punya nilai berbeda dengan para manajer. Dalam satu riset, pemimpin serikat buruh menilai kesejahteraan dan kesetaraan pekerja secara lebih tinggi, tetapi rendah dalam memandang keuntungan perusahaan. Manajer justru punya penilaian sebaliknya.

Perbedaan karakter lain yang memicu konflik adalah kebutuhan dan kepribadian. Misalnya, sejumlah pabrik memproduksi barang bagi divisi lain dari perusahaan. Manajer pabrik bekerjasama untuk beberapa waktu tanpa kesulitan. Tatkala manajer bersangkutan pensiun, penggantinya (berasal dari luar perusahaan) punya watak psikologis berbeda. Mereka ini lebih concern pada prestasi individu tinimbang kerjasama. Ketidaksetujuan antara manajer lama dan baru lalu muncul, dan kinerja sejumlah pabrik menurun.

Jika kita menganggap orang lain sebagai ancaman, kita akan bertindak atas mereka dalam cara yang berpotensi konflik. Anggapan atas perbedaan dalam kekuasaan dan status juga kerap memicu konflik di dalam organisasi, sebagaimana seseorang merasa terancam oleh kekuasaan orang lain. Tipe konflik ini lebih kuat potensi kemunculannya tatkala situasi samar (tidak tentu) yang bersumber pada kontribusi ambigu sehingga mengakibatkan salah persepsi dan pemberian penilaian yang tidak tepat.

Kondisi Situasional – Kondisi yang ditemui pada aneka situasi berbeda juga turut menyebabkan konflik. Perilaku konflik seseorang juga diakibatkan oleh sebab-sebab lingkungan. Konflik akan muncul tatkala orang relatif berdekatan secara fisik, atau tatkala mereka melakukan interaksi. Lewat interaksi yang tinggi, muncul kerumitan hubungan dan konflik pun potensial muncul. Interaksi adalah kegiatan utama di tiap organisasi, kendati tidak semua bentuk interaksi itu harus memunculkan konflik.

Konflik juga memiliki fungsi tatkala persetujuan aneka pihak dibutuhkan. Misalnya, banyak pembelian organisasi bersifat rutin dan tidak butuh persetujuan aneka departemen, tetapi konsensus (kesepakatan) harus dibuat tatkala pembelian suatu item seperti komputer atau perlengkapan kantor yang digunakan oleh orang banyak. Konflik atas kualitas, biaya, atau lokasi dapat muncul tatkala tekanan untuk membuat konsensus terjadi.

Kondisi Keorganisasian – Tatkala sejumlah besar orang hadir bersama di suatu organisasi, banyak hal bisa memicu konflik. Konflik berakar pada peran dan tanggung jawab, kebergantungan, sasaran, kebijakan, maupun sistem reward.

Kebutuhan Emosional Dasar – Kebutuhan ini melibatkan aspek perasaan seseorang di dalam organisasi. Sifatnya sangat subyektif dan internal di dalam diri anggota organisasi. Kebutuhan ini terdiri atas 3 jenis, yaitu: (1) Kebutuhan untuk dihargai dan dicintai; (2) Kebutuhan untuk mengendalikan; dan (3) Kebutuhan mencintai diri sendiri dan harga diri.

Kebutuhan untuk dihargai dan dicintai meliputi bagaimana individu membayangkan bagaimana pandangan orang lain terhadap dirinya. Jika individu tersebut yakin bahwa nilainya tengah berupaya dilemahkan di mata orang lain, segera saja individu tersebut menjadi tidak nyaman. Terjadi konflik internal sehubungan dengan bagaimana memulihkan nilai individu tersebut di mata orang lain. Contoh lainnya, tatkala seorang pekerja dimarahi atasan di depat mata koleganya, pekerja tersebut mengalami penurunan harga diri, merasa tidak nyaman, dan konflik muncul dalam proses bagaimana ia kembali memulihkan harga diri di mata orang.

Kebutuhan untuk mengendalikan bermakna kebutuhan untuk mengendalikan dan menentukan nasib kita sendiri, termasuk perasaan bahwa kita punya pilihan bebas serta berkemampuan untuk membuat pilihan. Misalnya, tatkala suatu departemen produksi diputuskan untuk bergabung dengan unit lain dalam suatu pekerjaan oleh manajemen puncak, pekerja di departemen tersebut akan merasa tercabut kendalinya atas produksi. Konflik muncul akibat pekerja di dalam unit yang digabung merasakan kemungkinan hilangnya kendali atas pekerjaan mereka lakukan sehari-hari. Juga, kemungkinan akan ada intervensi dari pekerja lain terhadap apa yang biasa mereka lakukan.

Kebutuhan untuk mencintai diri dan memiliki harga diri berhubungan dengan tingkat penghargaan diri seseorang. Segala sesuatu yang berakibat pada perasaan tidak cukup atau tidak mampu mencapai harapan, mengancam perasaan kecintaan pada diri sendiri serta harga diri ini. Menariknya, penguasaan kemampuan memanajemen konflik dan konfrontasi dalam kehidupan (sesuai pengalaman) punya sumbangan besar atas kemampuan pekerja untuk mencintai dan berpikir positif seputar diri mereka.

Nilai dan Keyakinan Personal – Saat seorang pekerja berkembang, mereka mengembangkan seperangkat nilai dan keyakinan yang membentuk segala perilakunya. Bilamana pekerja menganggap suatu peristiwa atau kondisi tidak selaras dengan salah satu nilai atau keyakinan dianut, mereka akan terdorong keluar dari zona nyaman dan mengalami konflik. Misalnya, seorang manajer yang suka mengolok-olok perilaku para atasan lalu ditegur oleh pihak manajemen senior untuk menghentikan kebiasaan tersebut, manajer tersebut akan mengalami konflik antara nilai dan keyakinan dirinya dengan otoritas organisasi.

Ide, Opini, dan Isu – Semua pekerja mempunyai ide, ide ini lalu membentuk opini. Kadang seorang pekerja secara optimis mengekspresikan opini dengan berkata “Saya pikir kalau ...” atau “Kalau menurut saya .... “. Opini pekerja terbentuk lewat sistem keyakinan yang mereka anut. Juga, pembentukan opini juga dipengaruhi isu-isu yang tengah berkembang, di mana isu yang tengah beredar ini kemudian ditanggapi minimal lewat dua opini berbeda. Isu bisa sederhana juga bisa rumit. Misalnya, tatkala dua pekerja yang menonton TV punya pendapat beda soal channel mana yang harus disetel, pekerja punya satu isu dan dua opini. Namun, kala debat politisi seputar reformasi kesehatan, kita punya satu isu utama, ribuan sub-isu, dan puluhan ribu opini.

Opini dan isu adalah lokus terbaik menemukan konflik. Pekerja pasti mengingat kapan opini mereka ditanggapi secara berbeda oleh orang lain, bahkan diserang. Adanya opini yang berseberangan tersebut menghasilkan konflik. Keseriusan pekerja dalam konflik ditandai kuatnya faktor emosi yang mendukung opini tersebut.

Fakta dan Informasi – Sejak pekerja melihat untuk kemudian menafsirkan sesuatu yang unik, persepsi pekerja seputar fakta mungkin berbeda dengan persepsi orang lain. Kerap, apa yang dikatakan sebagai fakta justru hakikatnya adalah opini. Kerap juga, fakta tidak lengkap dan informasi tidak tersedia.

Proses dan Metode – Jarang hanya ada satu cara dalam melakukan sesuatu. Banyak jalan menuju Roma. Sejak proses dan metode mempengaruhi hasil, pekerja cenderung mempertahankannya. Bahkan, isu remeh seperti memilih jalur tatkala tengan berkendaraan yang kita anggap paling cepat, dan kita anggap terbukti, akan terus kita pertahankan kendati jalur yang dipilih tersebut tetap juga macet. Sebab itu, perubahan proses dan metode di dalam organisasi akan menimbulkan konflik bagi para pendukungnya.

Kesamaan dan Perbedaan – Keragaman akan melahirkan konflik. Orang memiliki perbedaan dalam anutan nilai kebajikan dan sistem keyakinan, sifat manusia, dan respon atas kondisi tertentu. Dengan kata lain, bergantung pada “siapa mereka.”

Turf – Pekerja belajar seputar penguasaan wilayah dari pengalaman terdahulu dalam organisasi. Secara umum, ukuran dan teritori menghasilkan turf. Sejumlah budaya memposisikan kesuksesan sebagai ukuran tertinggi, baik dari sisi material atau imaterial. Kala anjing tetangga menemukan tempat bermain nyaman di halaman kita, kita merasakan gangguan atas turf yaitu teritori kita. Kejadian pemboman WTC tahun 2001 merupakan gangguan atas turf bangsa Amerika Serikat. Tidak diragukan lagi, pelanggaran atas turf akan memicu konflik.

Keterbatasan Sumber Daya – Organisasi tidak pernah bisa mencukupi segala kebutuhan setiap anggotanya.Sumber daya yang sifatnya terbatas, harus dialokasi, dan proses penentuan siapa mendapat apa ini memunculkan konflik. Sebagaimana seorang pekerja bersaing untuk beroleh sumberdaya, pekerja tersebut secara otomatis terpancing dalam kondisi menang-kalah.

Perubahan – Perubahan bersifat tetap. Setiap organisasi terus-menerus berubah, dan setiap individu punya persoalan dengan perubahan ini, baik di level pribadi ataupun profesional. Proses sosialisasi perubahan jika disesuaikan oleh individu tidak terlampau berdampak besar, tetapi tatkala dilawan maka timbulah konflik hingga orang tersebut hanya punya dua pilihan: Menyerah pada keadaan yang berubah atau pergi dari organisasi (resign).

Efek Konflik Organisasi

Konflik ibarat pisau bermata dua: Ia punya efek negatif dan positif bagi perkembangan organisasi. Efek ini terutama berkenaan dengan para individu yang menjadi anggota organisasi, dari level bawah hingga level atas. Identifikasi atas efek negatif dan positif ini mudah-mudahan membawa kita lebih mampu memanajemen konflik demi kepentingan diri kita sendiri.

Robert J. Edelmann membagi efek konflik ke dalam dua kategori yaitu efek negatif dan efek positif. Rincian dari masing-masing efek sebagai berikut

Efek Negatif.[12] Efek negatif dari konflik bisa berlingkup baik pada level individu ataupun organisasi. Pada level organisasi, konflik merusak kinerja organisasi sekaligus unit-unit yang ada di dalamnya. Pada level individu, konflik merusak dalam bentuk tertekannya pekerja (job stress). Berikut adalah rincian efek negatif konflik organisasi:
  • Reaksi umum atas konflik seperti ketidakmampuan konsentrasi dan berpikir secara jelas, dengan peningkatan gangguan dan kemampuan untuk santai.
  • Penyakit kecil yang tidak bisa diremehkan seperti sakit kepala, sulit tidur dan mual merupakan peringatan awal, yang jika tidak disikapi serius, akan berujung pada peningkatan tekanan darah (hipertensi). Apalagi pekerja tersebut punya pola makan tidak sehat, bisa kolesterol.
  • Tanda perilaku yang meliputi membuang diri dari pergaulan, penggunaan alkohol yang berlebih, merokok seperti “kereta api” (klepas-klepus), yang semuanya dimaksudkan untuk menurunkan ketegangan.
  • Lingkaran setan konflik berujung pada stress, yang kemudian mendorong terbitnya sinisme baik terhadap klien ataupun kolega kerja. Ini juga berdampak pada eskalasi konflik.

Efek Positif – Konflik juga punya efek positif di tataran individu. Bahkan, konflik sesungguhnya lebih banyak efek positif tinimbang negatif. Rincian efek positif konflik bisa kami ceritakan sebagai berikut ini:[13]
  • Memperkuat hubungan. Dua orang yang mampu mengenali perbedaan akibat konflik, kenapa perbedaan muncul, dapat melakukan diskusi guna menyelesaikannya sehingga satu sama lain dapat mengenal lebih dalam.
  • Meningkatnya kepercayaan. Jika dua orang bisa menyelesaikan konflik, mereka akan lebih mempercayai masing-masing pihak di masa datang dengan mengetahui bahwa perbedaan di antara mereka bisa diselesaikan.
  • Peningkatan harga diri. Hasil produktif dari konflik adalah peningkatan harga diri dari tiap pihak yang bertikai.
  • Penguatan kreativitas dan produktivitas. Konflik jika dimanajemen secara baik merupakan kondisi yang memungkinkan kreativitas dan diskusi antar orang dengan kepentingan berbeda, dan ujungnya peningkatan produktivitas.
  • Kepuasan kerja. Orang butuh sejumlah perangsang dan menggunakan pengalaman dalam hal penaikan dan penurunan ketegangan, dalam rangka meraih kepuasan kerja.

Penulis lain seperti M. Afzalur Rahim membagi efek konflik organisasi menjadi 2 yaitu: (1) Disfungsi dan (2) Fungsi.[14] Rincian dari pendapat Rahim seputar Disfungsi Konflik adalah:
  • Konflik mengakibatkan job stress, perasaan terbakar, dan ketidakpuasan;
  • Komunikasi antar inidividu dan kelompok menjadi berkurang;
  • Iklim ketidakpercayaan dan kecurigaan berkembang;
  • Hubungan antar orang tercederai;
  • Kinerja pekerjaan berkurang;
  • Perlawanan atas perubahan meningkat; dan
  • Komitmen dan kesetiaan organisasi akan terpengaruh.

Selain itu, Rahim menyebut adalah pula Fungsi Konflik, yaitu :
  • Konflik merangsang inovasi, kreativitas, dan perubahan;
  • Proses pembuatan keputusan dalam organisasi akan terimprovisasi;
  • Solusi alternatif atas satu masalah akan ditemukan;
  • Konflik membawa solusi sinergis bagi masalah bersama;
  • Kinerja individu dan kelompok akan lebih kuat;
  • Individu dan kelompok dipaksa untuk mencari pendekatan baru atas masalah; dan
  • Individu dan kelompok perlu lebih mengartikulasi dan menjelaskan posisi mereka. 

Manajemen Konflik

Jika konflik terjadi, apa yang kemudian dilakukan? Jawaban atas pertanyaan ini berujung pada pola manajemen konflik, khususnya seputar bagaimana sikap dari pihak yang berkonflik atas konflik yang terjadi. Taksonomi dua dimensi yang dikembangkan Thomas Ruble and Kenneth Thomas tahun 1976 relatif paling mudah dipahami.[15] Ruble and Thomas mengidentifikasi 5 jenis penanganan konflik yaitu: (1) Forcing; (2) Collaborating; (3) Compromising; (4) Avoiding; dan (5) Accomodating. Modelnya ada sebagai berikut:


Gambar 27 Kuadran Resolusi Konflik versi Rubl and Thomas 1976

Taksonomi penanganan konflik Ruble and Thomas terdiri atas garis x dan garis y. Garis x mewakili variabel Kerjasama (Cooperating) yaitu upaya memuaskan kepentingan orang lain. Garis y adalah variabel Ketegasan (Assertiveness) yaitu upaya memuaskan kepentingan diri sendiri. Limit terendah Ketegasan adalah Tidak Tegas, sementara limit tertingginya Tegas. Di sisi lain, limit terendah Kerjasama adalah Tidak Kerjasama, dan limit tertingginya Kerjasama.

Avoiding – Satu pihak menolak bahwa konflik itu ada, mengubah topik, dan menghindari diskusi-diskusi, seraya tidak memperlihatkan komitmen penyelesaian. Gaya ini efektif dalam situasi dimana terdapat bahaya penyerangan fisik, tanggapan atas isu remeh, tidak berpengaruh terhadap kesempatan untuk mencapai tujuan, atau rumitnya situasi yang membutuhkan solusi.[16]

Avoiding (penghindaran) konflik punya keuntungan dalam hal pemeliharaan hubungan, dalam mana hubungan diyakini akan terluka akibat proses penyelesaian konflik.[17] Kerugiannya gaya ini adalah konflik tidak akan selesai. Berlebihannya penggunaan gaya ini justru mendorong munculnya konflik internal dalam diri individu yang melakukannya. Orang lainpun cenderung meremehkan si penghindar. Penghindaran masalah biasanya bukan malah menyelesaikan masalah melainkan justru menambahnya. Semakin lama kita menunggu konfrontasi dengan orang lain, semakin sulit konfrontasi yang terjadi nantinya.

Accomodation – Satu pihak mengorbankan kepentingannya dan memperlihatkan concern dengan membiarkan pihak lain mencapai kepentingannya. Gaya ini efektif dalam situasi dimana tidak terdapat kesempatan yang banyak bagi seseorang dalam mencapai kepentingannya, tatkala hasilnya tidak penting, atau tatkala ada keyakinan bahwa memuaskan kepentingan dirinya akan mencederai hubungan.

Keuntungan gaya akomodasi adalah, hubungan terpelihara dengan melakukan sesuatu hal dengan cara yang bisa diterima orang lain. Kerugiannya adalah “penyerahan” pada orang lain malah kontraproduktif. Orang yang melakukan pengakomodasian mungkin punya solusi yang lebih baik. Berlebihannya penggunaan gaya ini cenderung memberi kesempatan orang lain mengambil keuntungan dari si akomodator. [18]

Compromising – Lewat konsesi seluruh pihak, tiap pihak siap hanya mendapat setengah dari total kepentingannya. Gaya ini efektif dalam situasi yang membutuhkan penyelesaian cepat seputar masalah, tatkala pihak lain menolak berkolaborasi (kerjasama), tatkala pencapaian sasaran secara mutlak tidak penting, atau tatkala tidak ada yang perlu dikhawatirkan apakah kepentingan tercapai seluruhnya atau sebagiannya saja.

Keuntungan gaya ini adalah, konflik diselesaikan secara relatif cepat dan hubungan kerja tetap terpelihara. Kerugiannya adalah, si kompromis kerap menghasilkan hasil yang kontraproduktif, seperti keputusan yang tidak optimal. Berlebihannya penggunaan gaya ini membuat orang kerap bertanya dua kali dalam rangka memenuhi kepentingannya. Gaya ini biasa digunakan dalam hubungan manajemen-buruh.[19]

Forcing – Gaya ini dicirikan agresivitas, berfokus diri sendiri, adanya pemaksaan, ketegasan lisan, dan perilaku tidak kooperatif guna mencapai tujuan yang ditampakan oleh satu pihak dengan mengalahkan kepentingan pihak lain. Gaya ini efektif dalam situasi dimana keputusan harus dibuat secara cepat, pilihan terbatas, tidak khawatir pihak lain menjadi korban, pihak lain menolak kerjasama, dan tidak ada perhatian memadai atas kerusakan potensial dalam hubungan.

Keuntungan gaya Forcing adalah keputusan organisasi yang lebih baik akan terjadi, kala si pemaksa benar, ketimbang keputusan yang kompromistik yang kurang efektif. Kerugiannya dari penggunaan gaya forcing yang berlebihan mendorong permusuhan dan perlawanan terhadap si pengguna. Pemaksa cenderung punya hubungan buruk dengan pihak lain. [20]

Collaborating – Gaya ini dicirikan lewat pendengar aktif dan fokus pada isu, komunikasi empatik yang mencari pemuasan kepentingan dan perhatian setiap pihak. Gaya ini efektif dalam situasi dimana kekuasaan secara relatif berimbang, hubungan jangka panjang dihargai, tiap pihak menampakkan perilaku kooperatif, dan terdapat cukup waktu dan energi guna membuat solusi integratif yang memuaskan semua pihak.

Keuntungan gaya ini adalah kecenderungannya membawa pada solusi terbaik dari konflik, menggunakan perilaku yang tegas. Kerugiannya adalah, keahlian, upaya, dan waktu dibutuhkan guna menyelesaikan konflik adalah lebih besar dan lebih lama tinimbang gaya lainnya. [21]

Kapan situasi terbaik untuk menerapkan masing-masing gaya manajemen konflik? Untuk menjawab pertanyaan ini, baiklah kami muat bagan dari John Hayes berikut:[22]

Tabel 21 Situasi Konflik dan Gaya yang Cocok Menanganinya versi Hayes

Cara Penanganan Konflik
Situasi yang Cocok
Forcing
  1. Kala tindakan yang tegas dan cepat adalah vital – darurat.
  2. Pada isu penting dimana tindakan tidak populer butuh untuk diterapkan – pemangkasan anggaran, menerapkan aturan yang tidak populer.
  3. Pada isu vital demi kesejahteraan perusahaan dan si pelaku benar.
  4. Melawan orang yang ambil keuntungan lewat cara tidak kompetitif.
Collaborating
  1. Guna menemukan solusi integratif kala kedua kepentingan terlalu penting untuk dikompromikan.
  2. Kala tujuan kita untuk belajar.
  3. Melebuh pandangan dari orang dari aneka sudut pandang.
  4. Beroleh komitmen lewat inkorporasi kepentingan ke dalam kesepakatan.
Compromising
  1. Kala tujuan adalah penting, tetapi tidak mementingkan cara yang terlalu tegas.
  2. Kala musuh dengan kekuasaan setara berkomitmen pada sasarannya sendiri-sendiri.
  3. Mencapai penyelesaian sementara atas isu-isu yang rumit.
  4. Mendatangkan solusi cerdik dalam tekanan waktu.
  5. Sebagai cadangan kala collaborating dan forcing tidak berhasil.
Avoiding
  1. Kala isu sepele, atau isu penting lain menunggu untuk diselesaikan.
  2. Kala anda menganggap tiada kesempatan memuaskan kepentingan sendiri.
  3. Kala efek merusak lebih tinggi dari resolusi yang mungkin dihasilkan.
  4. Mengizinkan orang untuk cooling down dan beroleh kembali cara pandang.
  5. Kala pengumpulan informasi lebih penting tinimbang memutuskan segera.
  6. Kala orang lain bisa menyelesaikan konflik lebih efektif.
  7. Kala isu sekadar persinggungan atau simptom dari isu lain. 
Accomodating
  1. Kala kamu temukan diri kamu salah – mengizinkan posisi yang lebih baik untuk didengar, dipelajari, dan menunjukkan alasan kamu.
  2. Kala isu lebih penting bagi orang lain tinimbang diri kamu sendiri – memuaskan orang dan memelihara kerjasama.
  3. Membangun kredit sosial untuk digunakan nantinya.
  4. Meminimalkan kehilangan kala kita sedang tidak fokus.
  5. Kala harmoni dan stabilitas lebih penting.
  6. Mengizinkan bawahan mengembangkan pemelajaran dari kesalahan.


[1] Gareth R. Jones, Organizational Theory, Design, and Change, 5th Edition (New Delhi: Dorling Kindersley, 2009) p.408.
[2]Ibid., p.409.
[3] M. Afzalur Rahim, Managing Conflict in Organizations, 4th Edition (New Jersey: Transaction Publishers, 2011) p.16.
[4] Kurt T. Dirks and Judi McLean Parks, “Conflicting Stories: The State of the Science of Conflict” dalam Jerald Greenberg, ed., Organizational Behavior: The State of the Science, 2nd Edition (Mahwah, New Jersey: Taylor & Francis e-Library, 2008) p.278.
[5] Ricky W. Griffin and Gregory Moorhead, Organizational Behavior: Managing People and Organizations, 9th Edition (Mason, Ohio: South-Western, 2010) p.382.
[6] Ian Brooks, Organisational Behaviour: Individuals, Groups, and Organisations, 3rd Edition (Delhi: Dorling Kindersley, 2006) p.234.
[7] Louis R. Pondy, “Organizational Conflict: Concepts and Models” dalam Harold J. Leavitt, Louis R. Pondy, and David M. Boje, eds., Readings in Managerial Psychology , 4th Edition (Chicago: The University of Chicago Press, 1989), p.525-30.
[8] Louis R. Pondy, “Organizational Conflict: Concepts and Models” dalam Harold J. Leavitt, Louis R. Pondy, and David M. Boje, eds., Readings in Managerial Psychology , 4th Edition (Chicago: The University of Chicago Press, 1989) p.516-9.
[9] Louise R. Pondy, op.cit.
[10] Misalnya adalah V.G. Kondalkar, Organization Effectiveness and Change Management, (New Delhi: PHI Learning Private Limited, 2009) p.345.
[11] Henry L Tosi and Neal P. Mero, The Fundamentals of Organizational Behavior: What Managers Need to Know (Malden, Massachussetts: Blacwell Publishing, 2003) p.189-91.
[12] Robert J. Edelmann, Interpersonal ..., op.cit.,p.3-5.
[13] Ibid., p.4-5.
[14] M. Afzalur Rahim, Managing Conflict ..., op.cit., p.6-7.
[15] Taksonomi 2 Dimensi Resolusi Konflik dari Thomas Ruble and Kenneth Thomas seperti dikutip dalam David A. Whetten and Kim S. Cameron, Developing Management Skill, 7th Edition (Delhi: Dorling Kindersley India Pvt. Ltd., 2008) p.371.
[16] Myra Warren Isenhart and Michael Spangle, Collaborative Approaches to Resolving Conflict (Thousand Oaks, California: Sage Publication, 2000) p.26-7. Setiap pengertian dari masing-masing gaya menggunakan sumber ini.
[17] Robert N. Lussier and Christopher F. Achua, Leadership: Theory, Application & Skill Development (Mason: Ohio: South-Western Cengage Learning, 2010) p.212.
[18] Robert N. Lussier and Christopher F. Achua, Leadership ..., op.cit., p.214
[19]Ibid., p.213.
[20]Ibid., p.213.
[21]Ibid., p.214
[22] John Hayes, Interpersonal Skills at Work, 2nd Edition (New York: Routledge, 2002) p.234.


------------------------------------
Sekadar tambahan:

Contoh Kuesioner Gaya Penanganan Konflik

Jika ada di antara mahasiswa yang menyusun skripsi atau penelitian, alat ukur penanganan konflik sudah ada yang “ready made”. Bahkan, ia disusun oleh Thomas Ribl and Kenneth Thomas sendiri, dua orang yang membuat taksonomi di atas. Berikut kuesioner dan metode penafsirannya :

Kuesioner : Apakah Gaya Penanganan Konflik Saya ?

Instrumen :

Kala mengalami perbedaan dengan seseorang, bagaimana respon anda? Gunakan skala peringkat berikut guna mencatat jawaban anda:

1 = Hampir Tidak Pernah
2 = Pernah Satu Kali
3 = Kadang-kadang
4 = Agak Sering
5 = Sangat Sering 

 
tags:
pengertian konflik organisasi pondy organisasi gaya penanganan konflik manajer efek konflik organisasi sumber konflik organisasi konflik manajemen konflik dalam organisasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar