Konflik dalam organisasi, manajemen
konflik dalam organisasi, sama halnya dengan politik keorganisasian kerap
dipandang secara pejoratif. Walaupun jarang diperbincangkan, politik dan
konflik sesungguhnya intheren di setiap organisasi, terlebih dalam organisasi
yang berskala besar. Politik dan konflik organisasi memiliki sejumlah dimensi
yang mirip, kendati demikian kedua konsep ini sebaiknya dibicarakan secara
terpisah.
Jika politik dianggap sebagai tatacara penggunaan pengaruh dan kekuasaan di dalam organisasi, maka konflik adalah situasi yang muncul akibat langkanya sumber daya di dalam organisasi. Di satu sisi terdapat kelangkaan, di sisi lain tuntutan untuk memiliki atau menggunakan sumber daya tersebut tinggi, dan konflik muncul sebagai akibatnya. Semua organisasi punya keterbatasan sumber daya sehingga konflik adalah sesuatu yang inheren (melekat) dalam operasional organisasi sehari-hari.
Jika politik dianggap sebagai tatacara penggunaan pengaruh dan kekuasaan di dalam organisasi, maka konflik adalah situasi yang muncul akibat langkanya sumber daya di dalam organisasi. Di satu sisi terdapat kelangkaan, di sisi lain tuntutan untuk memiliki atau menggunakan sumber daya tersebut tinggi, dan konflik muncul sebagai akibatnya. Semua organisasi punya keterbatasan sumber daya sehingga konflik adalah sesuatu yang inheren (melekat) dalam operasional organisasi sehari-hari.
Konflik memiliki akar, dan dari akar inilah konflik merambat
naik. Konflik pun punya sejumlah varian dan aneka fungsi, baik yang bersifat
negatif ataupun positif terhadap organisasi. Di atas semua, konflik sebaiknya
diakui sebagai eksis untuk dikelola demi mengembangkan organisasi, bukan
sebaliknya.
Definisi Konflik Organisasi
Gareth R. Jones mendefinisikan
konflik organisasi sebagai “perbenturan yang muncul kala perilaku mencapai tujuan
tertentu yang ditunjukan suatu kelompok dirintangi atau digagalkan oleh tujuan
kelompok lain.”[1] Karena tujuan, pilihan, dan kepentingan kelompok-kelompok
pemangku kepentingan (stake holder) di dalam organisasi berbeda maka konflik
adalah suatu yang tidak terelakkan di setiap organisasi.
Kendati konflik kerap dipandang
negatif, sama halnya dengan politik, tetapi Jones beranggapan bahwa beberapa
jenis konflik justru mampu memberi kontribusi terhadap peningkatan efektivitas
organisasi. Alasan Jones bahwa konflik punya kontribusi positif karena ia
mengungkap kelemahan suatu organisasi sehingga membuka jalan dalam upaya
mengatasinya. Dengan demikian, konflik membimbing pada proses pembelajaran dan
perubahan organisasi.[2]
M. Aflazur Rahim mendefinisikan
konflik organisasi sebagai “proses interaktif yang termanifestasi dalam hal-hal
seperti ketidakcocokan, ketidaksetujuan, atau kejanggalan baik di intra
individu maupun inter entitas sosial seperti individu, kelompok, ataupun
organisasi.[3] Rahim menyebut konflik sebagai proses interaktif bukan dengan
maksud hendak membatasi kemungkinan konflik di dalam diri individu, karena
seringkali seseorang mengalami konflik dengan dirinya sendiri.
Kurt T. Dirks and Judi McLean Parks
mendefinisikan konflik organisasi sebagai “... interaksi antarentitas yang
saling bergantung, yang menganggap adanya pertentangan sasaran, niat, atau
nilai, sehingga menganggap entitas lainnya sebagai penganggu potensial atas
upaya mereka merealisasikan sasaran ini.”[4] Sehubungan dengan definisi ini,
Dirks and Parks menyebutkan tiga konsep konflik yang muncul, yaitu: interaksi,
kesalingtergantungan, dan sasaran yang tidak cocok. Mereka juga menggariskan
entitas bukan orang, karena konflik kerap melibatkan tidak hanya orang tetapi
juga kelompok, tim, divisi, departemen, dan organisasi-organisasi bisnis.
Ricky W. Griffin and Gregory
Moorhead mendefinisikan konflik organisasi sebagai “ ... proses yang muncul
dari interaksi dua pihak, bahwa mereka bekerja secara berseberangan satu sama
lain dengan cara-cara yang berakibat pada perasaan tidak nyaman dan atau
permusuhan.”[5] Griffin and Moorheas menekankan bahwa konflik adalah sebuah
proses, bukan peristiwa yang berdiri sendiri. Sebagai proses, konflik terus
berlangsung dari waktu ke waktu. Keduanya juga menekankan bahwa pihak-pihak
yang terlibat harus mengakui bahwa proses perseberangan kepentingan sebagai
eksis. Terakhir, situasi ketidaknyamanan dan permusuhan juga harus nyata agar
konflik dapat dikatakan ada.
Ian Brooks mendefinisikan konflik
organisasi sebagai “ ...menjadi jelas kala sekurangnya satu pihak menganggap
bahwa konflik ada dan di mana kepentingan pihak tersebut mengalami penurunan
kemungkinan untuk dipenuhi.”[6] Konflik hadir antar individu (kendati Brooks
mempersyaratkan satu saja individu mengalaminya agar dapat disebut situasi
konflik), kelompok, atau departemen. Konflik pun dapat terjadi di antara mereka
yang punya tugas wewenang berbeda bahkan kolega-kolega kerja mereka sendiri.
Kiranya, definisi-definisi konflik
organisasi yang telah dipaparkan memiliki sejumlah persamaan. Pertama, adanya
tujuan yang berseberangan atau terhalangi. Kedua, adanya pihak-pihak yang
menganggap bahwa konflik ada, dan ini bisa individu, kelompok, tim, ataupun
bagian-bagian di dalam organisasi terhadap sesamanya. Ketiga, konflik
termanifestasi berupa rasa tidak nyaman atau permusuhan. Keempat, konflik dapat
disikapi baik secara negatif maupun positif bagi perkembangan organisasi.
Kelima, konflik adalah tidak terelakkan selama organisasi terus beroperasi
karena terdiri atas entitas-entitas yang punya kepentingan dan tujuan
masing-masing.
Model Konflik organisasi
Model berguna untuk menyederhanakan
yang interaksi konsep yang rumit. Model didasarkan atas seperangkat konsep yang
saling berjalin, atau dianggap saling berjalin, seputar suatu fenomena. Sebab
itu, tidak cukup hanya satu model untuk menjelaskan peristiwa, termasuk dalam
masalah konflik ini.
Di dalam setiap model, untuk
menjelaskan masalah konflik, digunakanlah teori. Teori yang digunakan untuk
menjelaskan konflik pun tidak hanya satu melainkan banyak. Teori-teori yang
memiliki kesamaan kemudian dikelompokkan ke dalam sebuah model. Model, sebab
itu, merupakan pengelompokan sejumlah teori untuk menjelaskan suatu peristiwa.
Louis A. Pondy menawarkan 3 buah
model untuk menjelaskan konflik. Model-model tersebut adalah: (1) Model
Bargaining; (2) Model Birokratik; dan (3) Model Sistem.[7] Ketiga model ini
punya dimensi penjelasan dan teori-teori yang berbeda dalam menjelaskan
konflik.
Model Bargaining – Model ini didesain untuk menjelaskan konflik yang muncul
akibat persaingan antara kelompok-kelompok kepentingan dalam memperebutkan
sumber daya yang langka. Model ini secara khusus menganalisis hubungan
pekerja-manajemen, proses penyusunan penganggaran, dan konflik staf-pekerja.
Parameter utama guna mengukur
konflik-konflik potensial diantara sejumlah kelompok kepentingan adalah dengan
mengidentifikasi perbedaan antara tuntutan pihak yang bersaing dengan sumber
daya yang tersedia. Resolusi konflik jenis ini adalah pengurangan tuntutan
kelompok atau peningkatan sumber daya yang tersedia. Dalam konteks penyusunan
anggaran, model ini menjelaskan bahwa konflik dipicu oleh persaingan
antardepartemen dalam memperebutkan dana organisasi.
Model Birokratik – Model ini diterapkan guna menjelaskan konflik
atasan-bawahan atau, secara umum, konflik di sepanjang garis vertikal dalam
hirarki organisasi. Model ini utamanya bicara seputar masalah yang muncul
akibat upaya lembaga untuk mengendalikan perilaku dan reaksi pihak-pihak yang
dikendalikan tersebut atas organisasi.
Konflik vertikal biasanya muncul
akibat atasan berusaha mengendalikan perilaku bawahan dan bawahan berupaya
melawan kendali tersebut. Pola hubungan yang mengandung otoritas ditentukan
lewat adanya seperangkat kegiatan bawahan di mana mereka (bawahan) harus
mengalah pada legitimasi atasan untuk mengatur. Potensi konflik terjadi tatkala
atasan dan bawahan punya harapan berbeda seputar wilayah unik (turf)
masing-masing. Bawahan lebih suka menganggap konflik telah terjadi tatkala
atasan berupaya menerapkan kendali atas kegiatan yang oleh bawah dianggap
berada di luar kewenangan atasan. Di sisi lain, atasan menganggap konflik
terjadi tatkala upayanya untuk mengendalikan tersebut mengalami perlawanan dari
bawahan.
Atasan cenderung memandang
perlawanan bawahan sebagai wujud ketidaksukaan (dislike) mereka atas penerapan
kekuasaannya secara pribadi. Dengan demikian, reaksi birokratis atas perlawanan
bawahan merupakan substitusi (pengganti) aturan impersonal dengan kendali
personal. Bawahan juga memandang upaya atasan mengatur sebagai pengurangan atas
otonomi mereka. Ini terutama terjadi di dalam organisasi skala besar yang
banyak melakukan delegasi wewenang. Kepentingan antara atasan dan bawahan
menjadi sedemikian berbeda sehingga sasaran, kepentingan, atau klop-nya
kebutuhan atasan-bawahan menjadi lebih sedikit kemungkinannya.
Model Sistem – Model ini bicara tentang konflik lateral, atau konflik
antar pihak yang punya fungsi berbeda. Analisis atas masalah koordinasi
dibicarakan secara khusus oleh model ini. Konflik dalam model ini juga dapat
terjadi antara orang dengan level hirarki yang sama.
Jika model bargaining bicara tentang
masalah persaingan, model birokratik bicara soal masalah kendali, maka model
sistemn bicara tentang masalah koordinasi. Misalnya, dua individu yang
masing-masingnya bekerja pada posisi sama dalam organisasi dan memainkan peran
formal yang juga sama, tatkala turun perintah untuk melakukan suatu pekerjaan,
maka masing-masing cenderung menganggap bahwa pekerjaan tersebut merupakan
bagian dari tugas dan wewenangnya, dan kala satu orang mengerjakan, orang
lainnya menganggap sebagai pelanggaran atas turf -nya.
Proses Konflik organisasi
Louis A. Pondy mengidentifikasi
empat jenis konflik, yaitu: (1) Latent Conflict; (2) Perceived
Conflict; (3) Felt Conflict; dan (4) Manifest Conflict.[8]
Keempat jenis konflik ini berada dalam satu alur proses mulai dari (1) hingga
yang terakhir (4).
Latent Conflict – Latent Conflict adalah konflik yang didasarkan atas tiga
sumber yaitu : (1) persaingan memperebutkan sumberdaya yang langka; (2)
kehendak untuk otonom atau berdiri sendiri, dan (3) perbedaan sasaran-sasaran
yang dikendaki oleh masing-masing unit dalam organisasi.
Persaingan membentuk dasar konflik
tatkala tuntutan untuk memperoleh sumberdaya melebihi sumberdaya yang tersedia
di dalam organisasi. Kebutuhan untuk otonom terjelma menjadi konflik tatkala
salah satu pihak berupaya menerapkan kendali atas sejumlah kegiatan yang oleh
pihak lain diakui sebagai otonominya. Perbedaan sasaran menjadi sumber konflik
tatkala dua pihak harus bekerja sama dalam sejumlah kegiatan, tetapi tidak bisa
meraih kesepakatan seputar tindakan apa yang harus diambil.
Dari Latent Conflict inilah
kemudian muncul Model Konflik Peran. Model ini memperlakukan organisasi selaku
kumpulan seperangkat peran, yang masing-masing peran dipegang oleh seseorang
serta orang yang memberikan peran tersebut kepadanya. Konflik muncul tatkala
pemegang peran menerima tuntutan peran yang dianggap bertentangan dengan peran
yang sebelumnya ia perankan. Model ini juga menganggap pemegang peran selaku
penerima pasif ketimbang partisipan aktif dalam hubungan. Model konflik peran
menentukan hubungan konseptual, perangkat peran, yang berguna dalam
menganalisis 3 bentuk Latent Conflict.
Perceived Conflict – Konflik pun kerap kali terjadi kendati tidak satupun
kondisi latent conflict dapat diidentifikasi. Kondisi latent conflict bisa
terjadi tanpa satupun peserta konflik merasakan bahwa kondisi laten tersebut
telah terjadi. Dalam kasus konflik tetap terjadi tatkala tidak satupun latent
conflict ada, dijelaskan melalui Model Semantik Konflik.
Menurut model ini, konflik merupakan
hasil dari kesalahpahaman pihak satu dengan pihak lain seputar posisi aktual.
Dengan demikian, konflik bisa diselesaikan dengan saling membangun pemahaman
dan meningkatkan komunikasi antar pihak. Model Semantik Konflik ini menjadi dasar
bagi teknik-teknik manajemen yang luas dipakai dengan tujuan meningkatkan
hubungan interpersonal.
Namun, sejumlah latent conflict
yang gagal dimasukkan ke dalam level kesadaran tiap-tiap entitas dalam
organisasi juga patut diberi penjelasan. Dua mekanisme penting yang menyekat
persepsi seputar konflik adalah Mekanisme Supresi dan Mekanisme Fokus
Perhatian. Individu cenderung memblok konflik-konflik yang sedikit mengancam
kesadarannya. Konflik baru menjadi ancaman besar, dan baru disadari, kala konflik-konflik
tersebut bersangkutan dengan nilai inti yang dianut individu secara pribadi.
Mekanisme Supresi bisa diterapkan
pada konflik-konflik yang berhubungan dengan pribadi/personal tinimbang
nilai-nilai keorganisasian. Mekanisme Fokus Perhatian, sebaliknya, berhubungan
dengan perilaku keorganisasian tinimbang nilai-nilai pribadi.
Felt Conflict – Terdapat perbedaan penting antara konflik yang dianggap
ada (perceived conflict) dengan konflik yang dirasakan ada (felt conflict). Si
A mungkin sadar bahwa B dan A berada dalam kondisi saling tidak setuju yang
serius atas satu kebijakan yang sama, dan ini merupakan felt conflict. Namun,
ketika felt conflict tersebut tidak membuat Si A tegang atau gelisah, dan
kondisi ini tidak punya dampak seputar perasaan Si A terhadap Si B. Kondisi ini
merupakan bentuk perceived conflict. Personalisasi konflik adalah mekanisme
yang menyebabkan pemikir-pemikir organisasi menekankan pada sifat disfungsi
konflik. Ada dua penjelasan umum bagi personalisasi konflik ini.
Pertama, penjelasan bahwa tuntutan
atas efisiensi organisasi dan perkembangan individu tidak konsisten dan
menciptakan kegelisahan di dalam diri individu. Kegelisahan dihasilkan dari
krisis identitas yang berasal dari lingkungan eksternalnya (organisasi).
Individu butuh pelepasan kegelisahan ini dalam rangka memelihara kesimbangan
internalnya sendiri. Ketiga jenis latent conflict menyediakan alasan pembenar
guna menggantikan kegelisahan ini dan si individu mengarahkannya pada sasaran
yang cocok. Dari titik ini berkembang Model Ketegangan (Tension Model).
Kedua, pejelasan bahwa konflik
menjadi bersifat pribadi kala seluruh kepribadian individu terlibat di dalam
hubungan. Rasa permusuhan adalah umum dalam hubungan-hubungan yang intim
(akrab) yang mencirikan lembaga-lembaga seperti gereja, perguruan tinggi, dan
keluarga. Guna menghilangkan permusuhan yang terakumulasi, lembaga secara
keseluruhan membutuhkan insitusi pengaman guna melepaskan ‘hawa permusuhan’ ini
seperti kegiatan atletik hingga pemberian sanksi.
Manifest Conflict – Model ini dimaksudkan guna menjelaskan bagi sejumlah
perilaku konflik yang telah bersifat nyata. Wujud konflik yang paling nyata
adalah penyerangan terbuka, perkelahian, perang mulut, kendati kekerasan fisik
dan verbal biasanya diharamkan oleh norma organisasi. Manifest conflict dalam
bentuk penyerangan terbukan dan perkelahian umum terjadi dalam kerusuhan
penjara, revolusi politik, atau kisruh buruh yang ekstrim, tetapi dalam konteks
organisasi umum bentuk-bentuk ini adalah jarang.
Dalam organisasi umum, motivasi
untuk berbuat kekerasan tetap ada, tetapi cenderung diekspresikan dalam bentuk
yang lebih halus. Suatu kajian berhasil mendokumentasikan upaya terselubung
untuk mensabotase atau memblok rencara pihak lawan lewat koalisi-koalisi yang
agresif dan defensif. Para montir di perusahaan otomotif menunjukkan
taktik-taktik konflik yang digunakan oleh partisipan organisasi level rendahan,
seperti apatisme guna melawan para supervisor mereka.
Keempat jenis konflik Pondy
sekaligus merupakan rangkaian sebab, eskalasi, dan ujung dari episode suatu
konflik. Agar lebih jelas, kami muat saja skema konseptual episode konflik
Pondy ini:[9]
Gambar 26 Episode Konflik versi Pondy
Model teoritis Pondy kemudian banyak
digunakan penulis-penulis konflik organisasi karena komprehensivitas dan
ketelitiannya, dengan memandang konflik secara holistik, tidak parsial.[10]
Penulis lain, misalnya Robert
Edelmann, Henry L. Tosi and Neal P. Mero mengidentifikasi sejumlah faktor
pemicu konflik. Faktor-faktor tersebut mereka kelompokkan ke dalam 3 kategori
utama yaitu: (1) Perbedaan Karakter Individu; (2) Kondisi Situasional; dan (3)
Kondisi Keorganisasian.[11]
Perbedaan Karakter Individu – Perbedaan membuat adanya kemungkinan bahwa orang yang
satu lebih suka terlibat konflik tinimbang lainnya. Perbedaan nilai, keyakinan,
dan sikap individu bisa jadi sumber konflik. Pekerja yang menilai tinggi
otonomi dan kebebasan akan bereaksi negatif jika diawasi secara ketat dan
dekat. Nilai juga menciptakan ketegangan antara individu dan kelompok di
organisasi. Misalnya, pemimpin serikat buruh kiranya punya nilai berbeda dengan
para manajer. Dalam satu riset, pemimpin serikat buruh menilai kesejahteraan
dan kesetaraan pekerja secara lebih tinggi, tetapi rendah dalam memandang
keuntungan perusahaan. Manajer justru punya penilaian sebaliknya.
Perbedaan karakter lain yang memicu
konflik adalah kebutuhan dan kepribadian. Misalnya, sejumlah pabrik memproduksi
barang bagi divisi lain dari perusahaan. Manajer pabrik bekerjasama untuk
beberapa waktu tanpa kesulitan. Tatkala manajer bersangkutan pensiun,
penggantinya (berasal dari luar perusahaan) punya watak psikologis berbeda.
Mereka ini lebih concern pada prestasi individu tinimbang kerjasama.
Ketidaksetujuan antara manajer lama dan baru lalu muncul, dan kinerja sejumlah
pabrik menurun.
Jika kita menganggap orang lain sebagai
ancaman, kita akan bertindak atas mereka dalam cara yang berpotensi konflik.
Anggapan atas perbedaan dalam kekuasaan dan status juga kerap memicu konflik di
dalam organisasi, sebagaimana seseorang merasa terancam oleh kekuasaan orang
lain. Tipe konflik ini lebih kuat potensi kemunculannya tatkala situasi samar
(tidak tentu) yang bersumber pada kontribusi ambigu sehingga mengakibatkan
salah persepsi dan pemberian penilaian yang tidak tepat.
Kondisi Situasional – Kondisi yang ditemui pada aneka situasi berbeda juga
turut menyebabkan konflik. Perilaku konflik seseorang juga diakibatkan oleh
sebab-sebab lingkungan. Konflik akan muncul tatkala orang relatif berdekatan
secara fisik, atau tatkala mereka melakukan interaksi. Lewat interaksi yang
tinggi, muncul kerumitan hubungan dan konflik pun potensial muncul. Interaksi
adalah kegiatan utama di tiap organisasi, kendati tidak semua bentuk interaksi
itu harus memunculkan konflik.
Konflik juga memiliki fungsi tatkala
persetujuan aneka pihak dibutuhkan. Misalnya, banyak pembelian organisasi
bersifat rutin dan tidak butuh persetujuan aneka departemen, tetapi konsensus
(kesepakatan) harus dibuat tatkala pembelian suatu item seperti komputer atau
perlengkapan kantor yang digunakan oleh orang banyak. Konflik atas kualitas,
biaya, atau lokasi dapat muncul tatkala tekanan untuk membuat konsensus
terjadi.
Kondisi Keorganisasian – Tatkala sejumlah besar orang hadir bersama di suatu
organisasi, banyak hal bisa memicu konflik. Konflik berakar pada peran dan
tanggung jawab, kebergantungan, sasaran, kebijakan, maupun sistem reward.
Kebutuhan Emosional Dasar – Kebutuhan ini melibatkan aspek perasaan seseorang di
dalam organisasi. Sifatnya sangat subyektif dan internal di dalam diri anggota
organisasi. Kebutuhan ini terdiri atas 3 jenis, yaitu: (1) Kebutuhan untuk
dihargai dan dicintai; (2) Kebutuhan untuk mengendalikan; dan (3) Kebutuhan
mencintai diri sendiri dan harga diri.
Kebutuhan untuk dihargai dan
dicintai meliputi bagaimana individu membayangkan bagaimana pandangan orang
lain terhadap dirinya. Jika individu tersebut yakin bahwa nilainya tengah
berupaya dilemahkan di mata orang lain, segera saja individu tersebut menjadi
tidak nyaman. Terjadi konflik internal sehubungan dengan bagaimana memulihkan
nilai individu tersebut di mata orang lain. Contoh lainnya, tatkala seorang
pekerja dimarahi atasan di depat mata koleganya, pekerja tersebut mengalami
penurunan harga diri, merasa tidak nyaman, dan konflik muncul dalam proses
bagaimana ia kembali memulihkan harga diri di mata orang.
Kebutuhan untuk mengendalikan
bermakna kebutuhan untuk mengendalikan dan menentukan nasib kita sendiri,
termasuk perasaan bahwa kita punya pilihan bebas serta berkemampuan untuk
membuat pilihan. Misalnya, tatkala suatu departemen produksi diputuskan untuk
bergabung dengan unit lain dalam suatu pekerjaan oleh manajemen puncak, pekerja
di departemen tersebut akan merasa tercabut kendalinya atas produksi. Konflik
muncul akibat pekerja di dalam unit yang digabung merasakan kemungkinan
hilangnya kendali atas pekerjaan mereka lakukan sehari-hari. Juga, kemungkinan
akan ada intervensi dari pekerja lain terhadap apa yang biasa mereka lakukan.
Kebutuhan untuk mencintai diri dan
memiliki harga diri berhubungan dengan tingkat penghargaan diri seseorang. Segala
sesuatu yang berakibat pada perasaan tidak cukup atau tidak mampu mencapai
harapan, mengancam perasaan kecintaan pada diri sendiri serta harga diri ini.
Menariknya, penguasaan kemampuan memanajemen konflik dan konfrontasi dalam
kehidupan (sesuai pengalaman) punya sumbangan besar atas kemampuan pekerja
untuk mencintai dan berpikir positif seputar diri mereka.
Nilai dan Keyakinan Personal – Saat seorang pekerja berkembang, mereka mengembangkan
seperangkat nilai dan keyakinan yang membentuk segala perilakunya. Bilamana
pekerja menganggap suatu peristiwa atau kondisi tidak selaras dengan salah satu
nilai atau keyakinan dianut, mereka akan terdorong keluar dari zona nyaman dan
mengalami konflik. Misalnya, seorang manajer yang suka mengolok-olok perilaku para
atasan lalu ditegur oleh pihak manajemen senior untuk menghentikan kebiasaan
tersebut, manajer tersebut akan mengalami konflik antara nilai dan keyakinan
dirinya dengan otoritas organisasi.
Ide, Opini, dan Isu – Semua pekerja mempunyai ide, ide ini lalu membentuk
opini. Kadang seorang pekerja secara optimis mengekspresikan opini dengan
berkata “Saya pikir kalau ...” atau “Kalau menurut saya .... “. Opini
pekerja terbentuk lewat sistem keyakinan yang mereka anut. Juga, pembentukan
opini juga dipengaruhi isu-isu yang tengah berkembang, di mana isu yang tengah
beredar ini kemudian ditanggapi minimal lewat dua opini berbeda. Isu bisa
sederhana juga bisa rumit. Misalnya, tatkala dua pekerja yang menonton TV punya
pendapat beda soal channel mana yang harus disetel, pekerja punya satu isu dan
dua opini. Namun, kala debat politisi seputar reformasi kesehatan, kita punya
satu isu utama, ribuan sub-isu, dan puluhan ribu opini.
Opini dan isu adalah lokus terbaik
menemukan konflik. Pekerja pasti mengingat kapan opini mereka ditanggapi secara
berbeda oleh orang lain, bahkan diserang. Adanya opini yang berseberangan
tersebut menghasilkan konflik. Keseriusan pekerja dalam konflik ditandai
kuatnya faktor emosi yang mendukung opini tersebut.
Fakta dan Informasi – Sejak pekerja melihat untuk kemudian menafsirkan sesuatu
yang unik, persepsi pekerja seputar fakta mungkin berbeda dengan persepsi orang
lain. Kerap, apa yang dikatakan sebagai fakta justru hakikatnya adalah opini.
Kerap juga, fakta tidak lengkap dan informasi tidak tersedia.
Proses dan Metode – Jarang hanya ada satu cara dalam melakukan sesuatu.
Banyak jalan menuju Roma. Sejak proses dan metode mempengaruhi hasil, pekerja
cenderung mempertahankannya. Bahkan, isu remeh seperti memilih jalur tatkala
tengan berkendaraan yang kita anggap paling cepat, dan kita anggap terbukti,
akan terus kita pertahankan kendati jalur yang dipilih tersebut tetap juga
macet. Sebab itu, perubahan proses dan metode di dalam organisasi akan
menimbulkan konflik bagi para pendukungnya.
Kesamaan dan Perbedaan – Keragaman akan melahirkan konflik. Orang memiliki
perbedaan dalam anutan nilai kebajikan dan sistem keyakinan, sifat manusia, dan
respon atas kondisi tertentu. Dengan kata lain, bergantung pada “siapa mereka.”
Turf – Pekerja belajar seputar penguasaan wilayah dari pengalaman
terdahulu dalam organisasi. Secara umum, ukuran dan teritori menghasilkan turf.
Sejumlah budaya memposisikan kesuksesan sebagai ukuran tertinggi, baik dari
sisi material atau imaterial. Kala anjing tetangga menemukan tempat bermain
nyaman di halaman kita, kita merasakan gangguan atas turf yaitu teritori kita.
Kejadian pemboman WTC tahun 2001 merupakan gangguan atas turf bangsa Amerika
Serikat. Tidak diragukan lagi, pelanggaran atas turf akan memicu konflik.
Keterbatasan Sumber Daya – Organisasi tidak pernah bisa mencukupi segala kebutuhan
setiap anggotanya.Sumber daya yang sifatnya terbatas, harus dialokasi, dan
proses penentuan siapa mendapat apa ini memunculkan konflik. Sebagaimana
seorang pekerja bersaing untuk beroleh sumberdaya, pekerja tersebut secara
otomatis terpancing dalam kondisi menang-kalah.
Perubahan – Perubahan bersifat tetap. Setiap organisasi terus-menerus
berubah, dan setiap individu punya persoalan dengan perubahan ini, baik di
level pribadi ataupun profesional. Proses sosialisasi perubahan jika
disesuaikan oleh individu tidak terlampau berdampak besar, tetapi tatkala
dilawan maka timbulah konflik hingga orang tersebut hanya punya dua pilihan:
Menyerah pada keadaan yang berubah atau pergi dari organisasi (resign).
Efek Konflik Organisasi
Konflik ibarat pisau bermata dua: Ia
punya efek negatif dan positif bagi perkembangan organisasi. Efek ini terutama
berkenaan dengan para individu yang menjadi anggota organisasi, dari level
bawah hingga level atas. Identifikasi atas efek negatif dan positif ini
mudah-mudahan membawa kita lebih mampu memanajemen konflik demi kepentingan
diri kita sendiri.
Robert J. Edelmann membagi efek
konflik ke dalam dua kategori yaitu efek negatif dan efek positif. Rincian dari
masing-masing efek sebagai berikut
Efek Negatif.[12] Efek negatif dari konflik bisa berlingkup baik pada
level individu ataupun organisasi. Pada level organisasi, konflik merusak
kinerja organisasi sekaligus unit-unit yang ada di dalamnya. Pada level
individu, konflik merusak dalam bentuk tertekannya pekerja (job stress).
Berikut adalah rincian efek negatif konflik organisasi:
- Reaksi umum atas konflik seperti ketidakmampuan konsentrasi dan berpikir secara jelas, dengan peningkatan gangguan dan kemampuan untuk santai.
- Penyakit kecil yang tidak bisa diremehkan seperti sakit kepala, sulit tidur dan mual merupakan peringatan awal, yang jika tidak disikapi serius, akan berujung pada peningkatan tekanan darah (hipertensi). Apalagi pekerja tersebut punya pola makan tidak sehat, bisa kolesterol.
- Tanda perilaku yang meliputi membuang diri dari pergaulan, penggunaan alkohol yang berlebih, merokok seperti “kereta api” (klepas-klepus), yang semuanya dimaksudkan untuk menurunkan ketegangan.
- Lingkaran setan konflik berujung pada stress, yang kemudian mendorong terbitnya sinisme baik terhadap klien ataupun kolega kerja. Ini juga berdampak pada eskalasi konflik.
Efek Positif – Konflik juga punya efek positif di tataran individu. Bahkan, konflik sesungguhnya lebih banyak efek positif tinimbang negatif. Rincian efek positif konflik bisa kami ceritakan sebagai berikut ini:[13]
- Memperkuat hubungan. Dua orang yang mampu mengenali perbedaan akibat konflik, kenapa perbedaan muncul, dapat melakukan diskusi guna menyelesaikannya sehingga satu sama lain dapat mengenal lebih dalam.
- Meningkatnya kepercayaan. Jika dua orang bisa menyelesaikan konflik, mereka akan lebih mempercayai masing-masing pihak di masa datang dengan mengetahui bahwa perbedaan di antara mereka bisa diselesaikan.
- Peningkatan harga diri. Hasil produktif dari konflik adalah peningkatan harga diri dari tiap pihak yang bertikai.
- Penguatan kreativitas dan produktivitas. Konflik jika dimanajemen secara baik merupakan kondisi yang memungkinkan kreativitas dan diskusi antar orang dengan kepentingan berbeda, dan ujungnya peningkatan produktivitas.
- Kepuasan kerja. Orang butuh sejumlah perangsang dan menggunakan pengalaman dalam hal penaikan dan penurunan ketegangan, dalam rangka meraih kepuasan kerja.
Penulis lain seperti M. Afzalur Rahim membagi efek konflik organisasi menjadi 2 yaitu: (1) Disfungsi dan (2) Fungsi.[14] Rincian dari pendapat Rahim seputar Disfungsi Konflik adalah:
- Konflik mengakibatkan job stress, perasaan terbakar, dan ketidakpuasan;
- Komunikasi antar inidividu dan kelompok menjadi berkurang;
- Iklim ketidakpercayaan dan kecurigaan berkembang;
- Hubungan antar orang tercederai;
- Kinerja pekerjaan berkurang;
- Perlawanan atas perubahan meningkat; dan
- Komitmen dan kesetiaan organisasi akan terpengaruh.
Selain itu, Rahim menyebut adalah pula Fungsi Konflik, yaitu :
- Konflik merangsang inovasi, kreativitas, dan perubahan;
- Proses pembuatan keputusan dalam organisasi akan terimprovisasi;
- Solusi alternatif atas satu masalah akan ditemukan;
- Konflik membawa solusi sinergis bagi masalah bersama;
- Kinerja individu dan kelompok akan lebih kuat;
- Individu dan kelompok dipaksa untuk mencari pendekatan baru atas masalah; dan
- Individu dan kelompok perlu lebih mengartikulasi dan menjelaskan posisi mereka.
Manajemen Konflik
Jika konflik terjadi, apa yang
kemudian dilakukan? Jawaban atas pertanyaan ini berujung pada pola manajemen
konflik, khususnya seputar bagaimana sikap dari pihak yang berkonflik atas
konflik yang terjadi. Taksonomi dua dimensi yang dikembangkan Thomas Ruble and
Kenneth Thomas tahun 1976 relatif paling mudah dipahami.[15] Ruble and
Thomas mengidentifikasi 5 jenis penanganan konflik yaitu: (1) Forcing;
(2) Collaborating; (3) Compromising; (4) Avoiding; dan (5)
Accomodating. Modelnya ada sebagai berikut:
Gambar 27 Kuadran Resolusi Konflik versi Rubl and Thomas 1976
Taksonomi penanganan konflik Ruble
and Thomas terdiri atas garis x dan garis y. Garis x mewakili variabel
Kerjasama (Cooperating) yaitu upaya memuaskan kepentingan orang lain. Garis y
adalah variabel Ketegasan (Assertiveness) yaitu upaya memuaskan kepentingan
diri sendiri. Limit terendah Ketegasan adalah Tidak Tegas, sementara limit
tertingginya Tegas. Di sisi lain, limit terendah Kerjasama adalah Tidak
Kerjasama, dan limit tertingginya Kerjasama.
Avoiding – Satu pihak menolak bahwa konflik itu ada, mengubah topik,
dan menghindari diskusi-diskusi, seraya tidak memperlihatkan komitmen
penyelesaian. Gaya ini efektif dalam situasi dimana terdapat bahaya penyerangan
fisik, tanggapan atas isu remeh, tidak berpengaruh terhadap kesempatan untuk
mencapai tujuan, atau rumitnya situasi yang membutuhkan solusi.[16]
Avoiding (penghindaran) konflik punya keuntungan dalam hal
pemeliharaan hubungan, dalam mana hubungan diyakini akan terluka akibat proses
penyelesaian konflik.[17] Kerugiannya gaya ini adalah konflik tidak akan
selesai. Berlebihannya penggunaan gaya ini justru mendorong munculnya konflik
internal dalam diri individu yang melakukannya. Orang lainpun cenderung
meremehkan si penghindar. Penghindaran masalah biasanya bukan malah
menyelesaikan masalah melainkan justru menambahnya. Semakin lama kita menunggu
konfrontasi dengan orang lain, semakin sulit konfrontasi yang terjadi nantinya.
Accomodation – Satu pihak mengorbankan kepentingannya dan memperlihatkan
concern dengan membiarkan pihak lain mencapai kepentingannya. Gaya ini efektif
dalam situasi dimana tidak terdapat kesempatan yang banyak bagi seseorang dalam
mencapai kepentingannya, tatkala hasilnya tidak penting, atau tatkala ada
keyakinan bahwa memuaskan kepentingan dirinya akan mencederai hubungan.
Keuntungan gaya akomodasi adalah,
hubungan terpelihara dengan melakukan sesuatu hal dengan cara yang bisa
diterima orang lain. Kerugiannya adalah “penyerahan” pada orang lain malah
kontraproduktif. Orang yang melakukan pengakomodasian mungkin punya solusi yang
lebih baik. Berlebihannya penggunaan gaya ini cenderung memberi kesempatan
orang lain mengambil keuntungan dari si akomodator. [18]
Compromising – Lewat konsesi seluruh pihak, tiap pihak siap hanya
mendapat setengah dari total kepentingannya. Gaya ini efektif dalam situasi
yang membutuhkan penyelesaian cepat seputar masalah, tatkala pihak lain menolak
berkolaborasi (kerjasama), tatkala pencapaian sasaran secara mutlak tidak
penting, atau tatkala tidak ada yang perlu dikhawatirkan apakah kepentingan
tercapai seluruhnya atau sebagiannya saja.
Keuntungan gaya ini adalah, konflik
diselesaikan secara relatif cepat dan hubungan kerja tetap terpelihara.
Kerugiannya adalah, si kompromis kerap menghasilkan hasil yang kontraproduktif,
seperti keputusan yang tidak optimal. Berlebihannya penggunaan gaya ini membuat
orang kerap bertanya dua kali dalam rangka memenuhi kepentingannya. Gaya ini
biasa digunakan dalam hubungan manajemen-buruh.[19]
Forcing – Gaya ini dicirikan agresivitas, berfokus diri sendiri,
adanya pemaksaan, ketegasan lisan, dan perilaku tidak kooperatif guna mencapai
tujuan yang ditampakan oleh satu pihak dengan mengalahkan kepentingan pihak
lain. Gaya ini efektif dalam situasi dimana keputusan harus dibuat secara
cepat, pilihan terbatas, tidak khawatir pihak lain menjadi korban, pihak lain
menolak kerjasama, dan tidak ada perhatian memadai atas kerusakan potensial
dalam hubungan.
Keuntungan gaya Forcing adalah
keputusan organisasi yang lebih baik akan terjadi, kala si pemaksa benar,
ketimbang keputusan yang kompromistik yang kurang efektif. Kerugiannya dari
penggunaan gaya forcing yang berlebihan mendorong permusuhan dan perlawanan
terhadap si pengguna. Pemaksa cenderung punya hubungan buruk dengan pihak lain.
[20]
Collaborating – Gaya ini dicirikan lewat pendengar aktif dan fokus pada
isu, komunikasi empatik yang mencari pemuasan kepentingan dan perhatian setiap
pihak. Gaya ini efektif dalam situasi dimana kekuasaan secara relatif
berimbang, hubungan jangka panjang dihargai, tiap pihak menampakkan perilaku
kooperatif, dan terdapat cukup waktu dan energi guna membuat solusi integratif
yang memuaskan semua pihak.
Keuntungan gaya ini adalah
kecenderungannya membawa pada solusi terbaik dari konflik, menggunakan perilaku
yang tegas. Kerugiannya adalah, keahlian, upaya, dan waktu dibutuhkan guna
menyelesaikan konflik adalah lebih besar dan lebih lama tinimbang gaya lainnya.
[21]
Kapan situasi terbaik untuk
menerapkan masing-masing gaya manajemen konflik? Untuk menjawab pertanyaan ini,
baiklah kami muat bagan dari John Hayes berikut:[22]
Cara Penanganan Konflik
|
Situasi yang Cocok
|
Forcing
|
|
Collaborating
|
|
Compromising
|
|
Avoiding
|
|
Accomodating
|
|
[1] Gareth R. Jones, Organizational
Theory, Design, and Change, 5th Edition (New Delhi: Dorling Kindersley,
2009) p.408.
[2]Ibid., p.409.
[3] M. Afzalur Rahim, Managing
Conflict in Organizations, 4th Edition (New Jersey: Transaction Publishers,
2011) p.16.
[4] Kurt T. Dirks and Judi McLean
Parks, “Conflicting Stories: The State of the Science of Conflict” dalam
Jerald Greenberg, ed., Organizational Behavior: The State of the Science,
2nd Edition (Mahwah, New Jersey: Taylor & Francis e-Library, 2008) p.278.
[5] Ricky W. Griffin and Gregory
Moorhead, Organizational Behavior: Managing People and Organizations,
9th Edition (Mason, Ohio: South-Western, 2010) p.382.
[6] Ian Brooks, Organisational
Behaviour: Individuals, Groups, and Organisations, 3rd Edition (Delhi:
Dorling Kindersley, 2006) p.234.
[7] Louis R. Pondy, “Organizational
Conflict: Concepts and Models” dalam Harold J. Leavitt, Louis R. Pondy, and
David M. Boje, eds., Readings in Managerial Psychology , 4th Edition
(Chicago: The University of Chicago Press, 1989), p.525-30.
[8] Louis R. Pondy, “Organizational
Conflict: Concepts and Models” dalam Harold J. Leavitt, Louis R. Pondy, and
David M. Boje, eds., Readings in Managerial Psychology , 4th Edition
(Chicago: The University of Chicago Press, 1989) p.516-9.
[9] Louise R. Pondy, op.cit.
[10] Misalnya adalah V.G. Kondalkar,
Organization Effectiveness and Change Management, (New Delhi: PHI
Learning Private Limited, 2009) p.345.
[11] Henry L Tosi and Neal P. Mero, The
Fundamentals of Organizational Behavior: What Managers Need to Know (Malden,
Massachussetts: Blacwell Publishing, 2003) p.189-91.
[12] Robert J. Edelmann, Interpersonal
..., op.cit.,p.3-5.
[13] Ibid., p.4-5.
[14] M. Afzalur Rahim, Managing
Conflict ..., op.cit., p.6-7.
[15] Taksonomi 2 Dimensi Resolusi
Konflik dari Thomas Ruble and Kenneth Thomas seperti dikutip dalam David A.
Whetten and Kim S. Cameron, Developing Management Skill, 7th Edition
(Delhi: Dorling Kindersley India Pvt. Ltd., 2008) p.371.
[16] Myra Warren Isenhart and
Michael Spangle, Collaborative Approaches to Resolving Conflict (Thousand
Oaks, California: Sage Publication, 2000) p.26-7. Setiap pengertian dari
masing-masing gaya menggunakan sumber ini.
[17] Robert N. Lussier and
Christopher F. Achua, Leadership: Theory, Application & Skill
Development (Mason: Ohio: South-Western Cengage Learning, 2010) p.212.
[18] Robert N. Lussier and
Christopher F. Achua, Leadership ..., op.cit., p.214
[19]Ibid., p.213.
[20]Ibid., p.213.
[21]Ibid., p.214
[22] John Hayes, Interpersonal
Skills at Work, 2nd Edition (New York: Routledge, 2002) p.234.
------------------------------------
Sekadar tambahan:
Contoh Kuesioner Gaya Penanganan
Konflik
Jika ada di antara mahasiswa yang
menyusun skripsi atau penelitian, alat ukur penanganan konflik sudah ada yang
“ready made”. Bahkan, ia disusun oleh Thomas Ribl and Kenneth Thomas sendiri,
dua orang yang membuat taksonomi di atas. Berikut kuesioner dan metode
penafsirannya :
Kuesioner : Apakah Gaya Penanganan Konflik Saya ?
Instrumen :
Kala mengalami perbedaan dengan seseorang, bagaimana respon anda? Gunakan skala peringkat berikut guna mencatat jawaban anda:
1 = Hampir Tidak Pernah
2 = Pernah Satu Kali
3 = Kadang-kadang
4 = Agak Sering
5 = Sangat Sering
tags:
pengertian konflik organisasi pondy organisasi gaya penanganan konflik manajer efek konflik organisasi sumber konflik organisasi konflik manajemen konflik dalam organisasi
pengertian konflik organisasi pondy organisasi gaya penanganan konflik manajer efek konflik organisasi sumber konflik organisasi konflik manajemen konflik dalam organisasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar